Kecerdasan Tidak Signifikan Menentukan Sopan Santun Berbahasa Orang Indonesia di Medsos: Studi

Gambaran anak muda ketika menggunakan medsos (bnitreatment.com)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Kecerdasan bukan menjadi penentu utama sopan santun berbahasa lewat pesan pendek (sandek) bagi orang Indonesia dan Malaysia.

Yang jadi penentu utama adalah faktor budaya.

Oleh karena itu peranan kultur untuk mengurangi konflik dalam komunikasi sangat penting.

Hal ini terungkap dalam studi bersama yang dilakukan oleh Nurul Hartini dan Dian Kartika Ameli Arbi dari Fakultas Psikologi Unair, Surabaya serta Ida Hartina Ahmed Tharbe dan Melati Sumari dari Fakultas Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Studi mereka diberi judul  Written Language Politeness (of Short Messages on Social Media) and Emotional Intelligence: A Study in Indonesia and Malaysia.

Studi tersebut dipublikasikan 10 April 2023 di Dovepress.com.

Komunikasi lewat sandek pada platform ponsel maupun sosmed selama ini telah menjadi gaya hidup.

Berbagai studi mengatakan sopan santun berbahasa dan kecerdasan emosional diperlukan oleh individu, kelompok, maupun masyarakat untuk memastikan pesan sampai dan dipahami sesuai dengan yang dikehendaki pengirim pesan.

“Orang-orang pada budaya tertentu, khususnya di masyarakat Timur, masih memandang sopan santun sebagai faktor penting dalam berkomunikasi termasuk melalui sandek,” tulis para peneliti, mengutip latar belakang penelitian mereka.

Berangkat dari hal itu, para peneliti melakukan riset dengan sampel 173 responden di Indonesia dan Malaysia yang memiliki latar belakang budaya Melayu.

Pengukuran terhadap kesopanan dalam berbahasa didasarkan pada Teori Kesopanan Linguistik yang dikembangkan Lakoff.

Aspek-aspek kesopanan, menurut Lakoff mencakup hal-hal berikut:

Formalitas, yaitu aspek yang bertujuan mencapai kenyamanan dalam komunikasi, ucapan tidak boleh memaksakan atau mengintimidasi lawan bicara.

Opsionalitas, yang menyatakan bahwa kedua komunikan yang berkomunikasi menentukan pilihan yang disepakati untuk saling merasa nyaman.

BACA JUGA:

Aspek berikutnya adalah kesepakatan yang menyatakan bahwa yang memulai percakapan harus ramah dan menjaga ikatan persahabatan dengan lawan bicaranya sehingga pesan yang dikomunikasikan dapat tersampaikan dengan baik.

Instrumen ini berisi sembilan item pernyataan yang berkaitan dengan gaya bahasa. Tiga dari sembilan item tersebut merupakan item yang menurut teori Lakoff merupakan aspek penting dari komunikasi, yaitu formal, setara, dan non-koersif.

Sementara itu pengukuran kecerdasan emosional dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Self-Rated Malaysian Emotional Intelligence Scale. Skala tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diujikan pada responden Indonesia.

Dalam melihat hubungan kesopanan berbahasa dengan kecerdasan, penelitian ini menggunakan dua model regresi Anova. Model pertama menggunakan prediktor umur, gender, dan budaya terhadap kesopanan berbahasa.

Model kedua menggunakan umur, gender, budaya, dan kecerdasan emosional sebagai prediktor.

Berdasarkan pengolahan data, para peneliti menemukan bahwa keempat prediktor secara bersama-sama memiliki kontribusi 93 persen terhadap kesopanan berbahasa.

Namun ketika masing-masing prediktor dilihat kontribusinya secara terpisah, hanya prediktor budaya yang secara signifikan mempengaruhi kesopanan berbahasa. Yang lain, yaitu usia, gender, dan kecerdasan emosional tidak signifikan pengaruhnya.

“Hasil analisis masing-masing variabel independen menunjukkan bahwa hanya variabel budaya yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Variabel usia, jenis kelamin, dan kecerdasan emosional tidak berpengaruh signifikan terhadap kesantunan dalam menggunakan pesan teks,” demikian para peneliti menjelaskan hasil riset mereka.

Hasil penelitian ini menguatkan temuan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kesantunan komunikasi merupakan salah satu aspek dari suatu budaya. Kesopanan atau kesopanan berbahasa diperlukan dalam setiap situasi sosial.

Selanjutnya, studi ini mengatakan terdapatnya perbedaan kesopanan orang Malaysia dan Indonesia.

Secara historis budaya Indonesia dan Malaysia berasal dari budaya yang sama yaitu Melayu. Meskipun demikian perkembangan budaya ini menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal ekspresi bahasa dan metode komunikasi.

Mengacu pada teori Lakoff kesantunan berbahasa mencakup unsur-unsur kesantunan komunikasi , yaitu formal, setara, dan tidak memaksa.

Dalam hal ini masyarakat Indonesia tetap menjunjung tinggi kesantunan, memanggil yang lebih tua dengan awalan “Pak/Bu”, namun tetap sama dalam mengemukakan pendapat (demokratis) dan cenderung menghormati keputusan pribadi meskipun berbeda pandangan.

Orang Indonesia cenderung mampu mengidentifikasi celah kekuasaan saat berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa formal biasanya digunakan saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau orang yang berpangkat lebih tinggi, sedangkan bahasa informal digunakan dalam komunikasi antara peserta yang seumuran atau berkedudukan.

Berbeda dengan konsep kesantunan bahasa Indonesia, kesantunan bahasa Malaysia lebih menekankan pada aspek rasa hormat, sabar, dan syukur dalam kesantunan berbahasa.

Rasa hormat adalah kemampuan untuk menghargai orang lain ketika berkomunikasi atau mengungkapkan gagasan. Menghormati mengacu pada menjaga kesantunan melalui bahasa dan tindakan sesuai dengan norma-norma masyarakat.

Berikutnya, kesabaran yang termasuk dalam aspek emosional, adalah aspek di mana seseorang diminta untuk mengendalikan diri untuk tidak mengatakan semua pikirannya dengan lantang.

Sabar juga berarti menilai situasi dan kesiapan lawan bicara dalam melakukan komunikasi. Ada pun aspek syukur  mengacu pada kesopanan atau kesantunan dalam berkomunikasi atau bertindak.

Misalnya, penggunaan istilah yang berkaitan dengan perspektif agama seperti syukur dan salam (alhamdulillah dan barakallah) hampir selalu tertulis dalam percakapan melalui pesan pribadi WhatsApp. Ungkapan “santai saja, tidak apa-apa” juga sering muncul saat para peneliti berinteraksi dengan orang Malaysia.

“Ketiga aspek tersebut, yaitu hormat, sabar, dan syukur, saling terkait dalam membangkitkan kesantunan budaya Melayu, baik dari segi bahasa maupun tindakan yang dianggap pantas secara individu maupun sosial,” demikian dituliskan oleh para peneliti.

“Berdasarkan perbedaan aspek yang ada dalam kesantunan berbahasa pada budaya Indonesia dan Melayu di Malaysia, dapat disimpulkan bahwa kedua budaya tersebut memiliki perbedaan aspek budaya yang mempengaruhi kesantunan berbahasa, diantaranya adalah kesantunan bahasa tulis dan komunikasi melalui pesan teks di media sosial,” tulis para peneliti.

Sebagai kesimpulan penelitian ini mengatakan konflik interpersonal yang bersumber dari miskomunikasi dapat berkembang menjadi konflik yang lebih luas antara individu, kelompok, komunitas, atau institusi. Oleh karena itu, baik pengirim maupun penerima pesan harus mempertimbangkan latar belakang budaya dalam menulis pesan media sosial. Kesamaan budaya akan memudahkan pemahaman isi pesan dan mengurangi masalah komunikasi dan konflik.

Para peneliti mengingatkan bahwa hasil penelitian mereka tidak dapat digeneralisasikan pada populasi yang usianya berada di luar rentang partisipan penelitian, yaitu 18–28 tahun. Selain itu, para peneliti mengatakan instrumen kesantunan berbahasa yang dikembangkan dari teori Lakoff masih perlu diukur lebih jauh reliabilitasnya.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*