JAKARTA, KalderaNews.com – Jangan sepelekan kebiasaan mendengkur (mengorok) saat tidur. Berbagai penyakit bisa saja sudah mengintai. Sebelum era tahun 1970, mendengkur hanya dianggap gangguan akustik, tetapi tidak untuk hari ini.
Diketahui, mendengkur (mengorok) adalah suara yang dihasilkan oleh vibrasi jaringan-jaringan lunak saluran pernapasan atas selama tidur. Biasanya terjadi selama fase inspirasi (mengambil udara sat bernapas), namun dapat juga terjadi selama fase ekspirasi (menghembuskan udara pernapasan)
Teknologi kedokteran, riset dan evaluasi objektif tentang mendengkur menemukan sekitar 45 persen orang dewasa terkadang mendengkur, 25 persen memiliki kebiasaan mendengkur (habitual snorers).
BACA JUGA:
- Baru 15 Tahun, Sudah Jadi Mahasiswa, Yuk Intip Cara Belajarnya!
- Untuk Mahasiswa Baru, Yuk Simak Cara Menyesuaikan Diri di Kampus
- Fariz Kukuh Harwinda: Tips Anak Desa Dapat Beasiswa StuNed ke Belanda
Faktanya, mendengkur dijumpai pada 5-86 persen pria dan 2-57 persen wanita berusia antara 30-60 tahun. Menariknya, mayoritas orang berusia lebih dari 65 tahun mendengkur. Mendengkur juga dijumpai tiga kali lebih banyak pada penderita obesitas.
Faktor hormonal memengaruhi kejadian mendengkur. Efek stimulan pada respirasi dari hormon progestasional dapat menjelaskan rendahnya prevalensi mendengkur dan OSA pada kaum hawa. Prevalensi mendengkur dan OSA yang dominan pada pria dihubungkan para ahli dengan efek testosteron pada ventilasi dan kemosensitivitas.
Pakar kesehatan, dr Dito Anurogo, MSc seperti dikutip dari Antara menegaskan mendengkur juga berpotensi terkait erat berbagai penyakit atau gangguan kesehatan, misalnya kegemukan, diabetes melitus tipe 2, kongesti nasal (hidung tersumbat), hipotiroidisme (kekurangan hormon tiroid), abnormalitas kepala dan wajah, akromegali (pembesaran organ-organ tubuh), hipertrofi adenotonsil (amandel bengkak), aterosklerosis arteri karotid, hipertensi (tekanan darah tinggi), penyakit jantung iskemik, macroglossia (pembesaran lidah), retrognathia (kelainan rahang), akondroplasia (kerdil akibat kelainan gen pertumbuhan tulang), sindrom Down (trisomi 21), fusi tulang leher (sindrom Klippel-Feil), sindrom Pierre Robin.
Studi tidur terkini berhasil menghubungkan kejadian mendengkur dengan hipertensi sistemik dan pulmoner, gagal jantung kanan, cor pulmonale (pembesaran jantung kanan akibat penyakit paru-paru), polisitemia sekunder, dan aritmia jantung. Selama tidur, penderita mendengkur stadium berat boleh jadi mengalami apnea, desaturasi oksigen, retensi karbondioksida, serta hipertensi sistemik dan pulmoner nokturnal.
Saat memeriksa seseorang dengan keluhan mendengkur, dokter akan bertanya semua hal tentang mendengkur (frekuensi, intensitas, kenyaringan), posisi tidur, onset usia, dan menentukan apakah ini terkait dengan berbagai kondisi yang mendasari munculnya mendengkur.
Dokter juga mengobservasi tekanan darah, indeks massa tubuh, ada tidaknya gejala-gejala kongesti nasal, cedera/trauma hidung, tonsilitis (radang amandel) berulang, dimensi orofaring, skor Mallampati (nilai numerik berdasarkan ukuran-posisi lidah).
Jika mendengkur terkait dengan OSA maka berakibat komplikasi. Misalnya, sering marah-marah, merasa stres atau frustasi, sulit berkonsentrasi, rasa mengantuk di siang hari. Berisiko lebih tinggi terkena stroke, gangguan jantung, atau menderita hipertensi. Peningkatan risiko kecelakaan kendaraan bermotor karena kurang tidur. Pada anak-anak dengan OSA, berpotensi terjadi komplikasi berupa gangguan perilaku, agresi, atau problematika belajar.
Beberapa anjuran yang dirasakan tepat untuk mencegah sekaligus mengatasi mendengkur adalah posisi tidur lateral (miring ke kanan), berhenti merokok, hindari terpapar polusi udara, setop konsumsi alkohol, berpola hidup sehat-seimbang sehingga tidak menderita hipertensi dan obesitas. So, jangan sepelekan kebiasaan mendengkur. (ML)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply