JAKARTA, KalderaNews.com – Film Tilik masih menjadi pembahasan menarik karena sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tilik bahkan sudah menembus 22 juta penonton di kanal Youtubenya. Viralnya Tilik tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini membuat Universitas Budi Luhur mengundang sang sutradara yakni Wahyu Agung Prasetyo untuk berbagi cerita dan pengalaman mengenai film kehidupan sehari-hari ini.
Webinar bertajuk “Belajar Cerdas Berbudi Luhur dari Film Tilik” dihadiri oleh Kasih Hanggoro, MBA selaku Ketua Yayasan Budi Luhur Cakti, Dr. Ir. Wendi Usino, M.Sc., M.M selaku Rektor Unversitas Budi Luhur dan moderator Dr. Yusran, M. Si selaku Kepala Pusat Studi Kebudiluhuran serta peserta calon mahasiswa baru angkatan 2020.
Film Tilik hadir sebagai fenomena untuk tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hal senada pun diutarakan oleh Kasih Hanggoro, MBA selaku Ketua BPH Yayasan Budi Luhur Cakti bahwa film ini mengangkat pesan untuk tidak menghakimi orang lain sebelum mengetahui kebenarannya.
BACA JUGA:
- Sempat Tak Diizinkan, Begini Suka Duka KKN Mahasiswa UBL Saat Covid-19
- Hebat, Ribuan Sivitas Akademika Ubhara Jaya Deklarasi Perangi Narkoba Hingga Masuk Rekor MURI!
- Kisah Bu Tejo, Tante April dan Om Batman
“Pertama di film ini kan tujuannya saling tolong menolong untuk menimbulkan rasa cinta kasih dengan menjenguk orang sakit. Kedua penting bagi saya disetiap dialognya ada prasangka buruk terhadap seseorang, yang intinya jangan menghakimi sebelum kejadian itu terjadi atau ketidak tahuan kita, yang paling benar yaitu mencari terlebih dahulu,” ujarnya.
Tilik memang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Hal ini pun diungkapkan oleh Rektor Universitas Budi Luhur pun mengatakan bahwa kebenaran merupakan hal yang relatif. Akan tetapi, film ini tidak luput dari kritikan masyarakat karena merasa terlalu multi tafsir.
Wahyu Agung Prasetyo selaku sutradara mengatakan pada webinar bahwa dirinya dan tim sangat terbuka dengan kritikan karena menurutnya tidak ada karya yang luput dari kritikan masyarakat.
“Kami sangat open dengan kritikan masyarakat terhadap film ini, karena menurut kami tidak ada karya yang tak luput dari kritikan, begitu pula dengan film Tilik ini, tapi kritikan itu bisa mendewasakan ketika akan membuat karya lagi ke depannya,” jelasnya.
Selain itu, penonton juga dibuat bingung karena perbedaan interpretasi. Menurut sang sutradara ketika karya sudah dikonsumsi oleh publik, maka wajar jika terjadi perbedaan interpretasi.
“Nah, kemudian ketika ada stigma jelak, stigma baik, film ini sudah sangat eksplisit di dialog-dialog tertentu, ketika kita sudah cermat dan menelaah film ini, kemungkinan tafsirnya bisa sama dengan kami yang membuat filmnya. Nah ketika film ini sudah kami lempar di publik dan jadi konsumsi publik, saya pikir itu sudah hak interprestasi publik juga,” ucapnya pada webinar.
Di akhir diskusi, rektor UBL berharap bahwa Film Tilik dapat menjadi pelajaran bagi mahasiswa Budi Luhur untuk selalu menjaga nilai-nilai kebudiluhuran pada masyarakat.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply