
YOGYAKARTA, KalderaNews.com – Puluhan akademisi dari berbagai kampus di Yogyakarta berkumpul dalam Uji Examinasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/2023, tentang usia capres cawapres.
Hal ini terkait dengan Pelanggaran PKPU 19 tahun 2023 mengenai usia cawapres dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Uji examinasi itu dilakukan di Royal Ambarrukmo Hotel, Sabtu, 20 Januari 2024.
Para akademisi ini saling berdiskusi, mengkritisi dan mengungkap langkah-langkah terkait putusan MK.
BACA JUGA:
- 10 Panelis Akademisi Debat Pilpres 2024, Kok Semua dari PTN
- Akademisi Paramadina Kompak Udar Kebobrokan Masalah Ekonomi Politik Saat Pandemi
- Keren Nih, Dosen Unpad Masuk Jajaran 100 Akademisi Terbaik Dunia
Sebagaimana diketahui bahwa putusan yang telah MK sahkan itu bersifat Res Judicata Pro Veritate Habetur.
Kritisi keputusan MK terkait aturan usia cawapres
Dr Demas Brian, salah satu pemateri mengatakan putusan yang telah dibacakan MK bahwa batas usia capres cawapres sekurang-kurangnya 40 tahun.
Atau yang berusia di bawah itu sepanjang telah berpengalaman menjadi pejabat negara dan atau kepala daerah yang didapatkan melalui proses Pemilu atau Pilkada mau tak mau harus diterima.
Meski menurutnya keputusan itu dirasa tidak luput dari kesalahan. Seharusnya menurut dia, hanya Presiden dan DPR yang memiliki kewenangan untuk menganulir keputusan MK tersebut.
“Yang punya hak atau kewenangan hanya presiden dan DPR. Kemudian yang perlu dicermati adalah mengapa KPU tergopoh-gopoh melaksanakan keputusan MK sedangkan dua lembaga tadi, Presiden dan DPR santai-santai saja. KPU terima pendaftaran Gibran 25 Oktober 2023 tanpa menunggu perubahan UU No. 7 tahun 2017 dan PKPU. KPU melakukan perbuatan melawan hukum, melampaui batas kekuasaan,” ungkap Demas.
Menurut Demas, putusan MK tersebut baru bisa dilaksanakan 2029 bukan seperti yang terjadi kemarin.
Adapun pelaksanaan hari ini merupakan penyelundupan hukum karena KPU belum mengubah aturan di dalam peraturan KPU.
“Di DKPP saat ini semua komisioner KPU kami laporkan. Karena melanggar dan menyelundupkan putusan MK tanpa mengubah aturan, kami minta pemberhentian semua komisioner KPU. Kami menunggu hakim DKPP akan mandul atau tidak. Ini etik berat maka kami minta untuk diberhentikan agar masyarakat percaya penyelenggaraan pemilu 14 Februari nanti,” lanjutnya.
Ahli hukum melanggar hukum, tidak dihukum
Hal senada pun disampaikan Dr Dian Agung Wicaksono, Dosen Fakultas Hukum UGM, yang menyampaikan bahwa dari keputusan MK hanya bisa diberlakukan pada pemilu 2029 mendatang.
“Karena keputusan ini diambil saat tahapan Pemilu sudah berjalan,” ungkapnya lagi.
Sementara Prof Nindyo Pramono yang menginisiasi kegiatan tersebut mengatakan ada para intelektual muda pemerhati hukum tata negara dan administrasi negara menyampaikan kerisauan dengan putusan MK.
Para akademisi menurut Nindyo menghargai doktrin yang mengatakan putusan hakim Res Judicata Pro Veritate Habetur.
“Tapi putusan hakim itu putusan manusia yang dilakukan uji examinasi. Data dasar pertimbangan seperti apa, prosesnya seperti apa. Ada akademisi melakukan kajian, menemui saya untuk dilakukan FGD untuk uji eksaminasi, dan ini murni dalam tataran akademis untuk pembelajaran masyarakat,” ungkapnya.
Untuk itulah uji examinasi sangat perlu dilakukan karena sampai saat ini masyarakat berdialog secara sosial tentang pelanggaran norma hukum yang dilakukan para penegak hukum.
“Jangan ada jargon ahli hukum melanggar hukum tapi tak dihukum,” pungkas Nindyo.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com
Leave a Reply