Beda Bahasa Politisi dan Peneliti

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com – Politisi menjalankan kariernya di atas gelombang rapuh suara pemilihnya. Naik-turun persentase jumlah suara pendukungnya menjadi tolok ukur penting, dan itu diukur setiap hari. Apa yang membuat mereka menyukai dirinya dan apa yang tidak, menjadi pengamatan. Mengapa mereka loyal pada isu tertentu dan mengapa marah pada isu lain.

Politisi harus memelihara penampilan dan tutur kata di hadapan publik. Dia tidak boleh terlihat ragu, lemah dan takut. Harus tampak yakin, kuat dan berani. Oleh karena itu kata dan bahasa yang mereka pakai juga harus mendukung citra demikian.

BACA JUGA:

Tidak heran bila para politisi gemar memakai kata-kata superlatif seperti Sangat, Selalu, Ter, Paling dan sebagainya. Misalnya kalimat berikut ini:

“Saya akan SELALU mendengar aspirasi Anda.”

“Kita akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi TERcepat di Asia. “

“Saya SANGAT terkejut melihat keadaan rakyat yang demikian menderita.”

Politisi juga gemar pada pernyataan-pernyataan normatif, seperti “Kita HARUS….” atau “Kita MESTI… ” atau “Kita PASTIKAN…..” Bahwa apakah keharusan atau keyakinan itu benar-benar terjadi atau dijalankan, merupakan urusan nomor terakhir. Maka kita tidak asing mendengar pernyataan berikut ini dan sambil tersenyum dalam hati kita tahu kalimat itu tidak bermakna:




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*