Studi: Anak-anak Generasi COVID-19 Tertinggal 50 Persen di Bidang Matematika, Ini 4 Saran Mengatasinya

Anak-anak di sekolah negeri di Maryland,AS. mengantre untuk mendapatkan pembagian makanan ketika sekolah mereka ditutup karena pandemi COVID-19 (Ist)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Lagi-lagi sebuah studi menunjukkan pembelajaran secara daring tidak dapat sama sekali menggantikan proses belajar di dalam kelas.

Studi bersama yang dilakukan oleh enam ahli pendidikan yang tergabung dalam Northwestern Evaluation Association (NWEA) AS, menunjukkan anak-anak kelas tiga hingga kelas delapan hanya dapat menguasai 50 persen pelajaran Matematika dan 70 persen pelajaran membaca dibanding bila proses belajar-mengajar berjalan dalam keadaan normal.

Di kelas yang lebih rendah, penguasaan bahan pelajaran bahkan lebih rendah lagi. Estimasi studi itu memperkirakan anak-anak di kelas yang lebih rendah dapat ketinggalan hingga setahun penuh pelajaran bila dibandingkan dengan hasil belajar pada keadaan normal.

BACA JUGA:

Ini merupakan hasil studi yang dilakukan oleh enam peneliti, yakni Jim Soland, Asisten Professor Curry School of Education, University of Virginia dan peneliti pada NWEA, Megan Kuhfeld. asisten peneliti NWEA, Beth Tarasawa, Executive Vice President of Research NWEA, Angela Johnson, Research Scientist NWEA, Erik Ruzek, Asisten Riset Professor, Curry School of Education University of Virginia, dan Jing Liu Postdoctoral Research Associate, Annenberg Institute, Brown University.

Untuk meneliti berapa besar kerugian proses pembelajaran yang dialami murid selama masa COVID-19 di AS, mereka mendasarkan pemahaman pada preseden masa lalu. Mereka membandingkan dengan penelitian-penelitian yang mengukur dampak dari berhentinya proses belajar yang disebabkan oleh ketidakhadiran, penutupan sekolah karena cuaca (seperti Badai Katrina) dan libur musim panas.

Para peneliti ini menggunakan sampel nasional lebih dari 5 juta murid kelas tiga hingga delapan yang mengikuti MAP Growth assesment pada 2017-2018.

“Hasilnya sangat memprihatinkan,” tulis mereka dalam artikel berjudul “The impact of COVID-19 on student achievement and what it may mean for educators.” yang dimuat di situs resmi Brooking Institution, 27 Mei 2020. Mereka memberi catatan, estimasi mereka bisa sedikit berlebihan, mengingat pembelajaran selama pandemi COVID-tidak sepenuhnya berhenti dikarenakan adanya pembelajaran daring.

Ada dua asumsi yang mereka gunakan untuk mengukur kerugian yang diakibatkan terhentinya pembelajaran di kelas akibat COVID-19. Asumsi pertama adalah kerugian yang terjadi mengikuti pola kerugian yang diakibatkan oleh terhentinya proses belajar-mengajar karena libur musim panas.

Sedangkan asumsi kedua, kerugian yang diakibatkan oleh terhentinya pembelajaran akibat COVID-19 megikuti pola kerugian yang diakibatkan oleh terhentinya proses belajar-mengajar karena ketidakhadiran murid. Estimasi kerugian dengan asumsi yang kedua ini, menurut para peneliti itu, lebih mengerikan lagi.

The New York Times mengulas hasil penelitian ini dalam editorial mereka April lalu. Surat kabar itu mengingatkan bahwa ini merupakan kemunduran dan akan menjadi bencana besar bagi anak-anak yang mereka sebut sebagai ‘Generasi COVID-19,’ yang jumlahnya mencapai 50 juta orang di AS.

Kemunduran itu terutama bagi siswa kelas lima, yang perlu mempersiapkan diri untuk tugas-tugas yang lebih kompleks yang akan terjadi di kelas lebih tinggi. Selain itu, menurut The New York Times, skenario suram ini akan lebih buruk bagi murid yang keluarganya bergulat dengan kelaparan, pengangguran atau tunawisma.

Pembalikan pembelajaran yang demikian besar, menurut The New York Times, bisa membuat pincang seluruh generasi kecuali para pemimpin negara daoat dengan cepat bekerja untuk membalikkan keadaan.

Empat Solusi

Sebagai solusi, enam peneliti ini mengajukan empat hal.

Pertama, mempertimbangkan bahwa banyaknya murid yang ketinggalan pelajaran, khususnya di bidang Matematika, para guru di berbagai level kelas harus meakukan koordinasi untuk menentukan darimana memulai pembelajaran ketika sekolah dibuka kembali. Para pendidik perlu mencari cara untuk mengukur kemampuan murid sejak awal. Baik secara formal maupun informal, untuk memahami kemampuan mereka secara akademis.

Kedua, ketika memulai kembali pelajaran di dalam kelas, para murid datang dengan variasi ketrampilan akademis yang lebih besar dibandingkan dalam keadaan normal. Oleh karena itu, pendidik harus mempertimbangkan cara-cara mengajar yang memberikan peluang pembelajaran yang mengakomodasi kebutuhan individu-individu.

Ketiga, ketika memasuki kelas seusai musim panas, mereka yang ketinggalan paling banyak dalam pelajaran, seringkali juga menjadi yang paling banyak menangkap pelajaran. Namun hal ini tampaknya tidak berlaku di masa pandemi COVID-19. Oleh karena itu para pendidik harus menentukan tingkat pertumbuhan yang harus dikejar dan menetapkan tujuan belajar yang ambisius namun tetap dapat tercapai.

Keempat, ada dampak COVID-19 yang tidak terungkap dalam studi, namun sangat penting. Pengalaman pada anak-anak korban Badai Katrina menunjukkan mereka kesulitan berkonsentrasi. Mereka acap kali menunjukkan gejala depresi pada bulan-bulan sesudah badai. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami dampak dari COVID-19 dan bagaimana mendukung kebutuhan sosial dan emosional murid. Banyak murid menghadapi kekhawatiran tentang kecukupan makanan, kehilangan pendapatan keluarga, kehilangan anggota keluarga dan tentu saja, cemas tertular oleh virus corona itu sendiri.

Para peneliti berharap studi mereka menjadi bahan perhatian para pengambil kebijakan.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*