Kisah Bu Tejo, Tante April dan Om Batman

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com — Manusia sering membuat dikotomi. Awalnya mungkin sebagai alat menganalisis untuk mengontraskan sesuatu demi menemukan solusi. Tapi lama-lama menjadi kebiasaan. Maka kita sering membuat pengelompokan-pengelompokan atau pengkategorian yang bersifat dikotomis.

Misalnya, melihat cara berbeda orang dalam menikmati bubur ayam, maka kita memberi cap kelompok bubur diaduk kepada mereka yang memakan bubur dengan terlebih dahulu mengaduknya, dan kelompok bubur tidak diaduk bagi mereka yang memakan bubur dengan tanpa mengaduknya.

Dikotomi semacam itu  dapat saja  sekadar lucu-lucuan di ajang reuni atau kongkow-kongkow. Suatu cara untuk membagi peserta menjadi dua kelompok. Tetapi tidak jarang pula dikotomi tersebut menjadi sangat serius, menciptakan geng-geng-an yang seru. Berkepanjangan hingga ke anak-cucu.

Ada banyak dikotomi yang secara sadar atau tidak kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Di dunia pendidikan, misalnya, kita sering mendengar dikotomi antara guru tetap dan guru honorer. Di berbagai instansi, kerap juga ada dikotomi antara mereka yang diterima lewat jalur sekolah kedinasan dan nonkedinasan. Dikotomi juga dapat kita temui ketika mengantre di bank: apakah kamu nasabah VIP atau nasabah biasa belaka?. Jalurnya berbeda.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*