
JAKARTA, KalderaNews.com — Sering ada stereotip bahwa aktivis kampus lebih banyak mengisi waktunya untuk hal-hal nonakademis. Akibatnya kurang berkonsentrasi mempersiapkan diri untuk perkuliahan. Karenanya nilai akademisnya umumnya tidak terlalu menonjol.
Stereotip ini tak berlaku pada pada Dariya Darvin, mahasiswi University of Toronto, Kanada. Perempuan berdarah India ini adalah aktivis kampus yang supersibuk. Keterbatasan finansial juga membuatnya harus bekerja sambil kuliah. Namun ia berhasil mencatat indeks prestasi kumulatif sempurna: 4.
Oleh karena prestasi itu, ia diganjar Rose Sheinin Award, sebuah penghargaan untuk mahasiswa perempuan teratas di bidang Sains di universitas tersebut. Sebelumnya sejumlah penghargaan juga sudah ia terima untuk keaktifannya di kampus.
Menghadapi Persoalan Finansial
Dariya Darvin tiba di Kanada pada tahun 2015 bersama keluarganya sebagai sebuah keluarga imigran. Ia masih kelas 12 ketika tiba di Mississauga, sebuah kota di provinsi Ontario, berbatasan dengan Toronto.
Kesulitan finansial mengiringi langkahnya ketika mendaftar ke University of Toronto Mississauga. Namun ia memperoleh bantuan beasiswa untuk tahun pertama. Ia juga mendapat bantuan keuangan lainnya berkat prestasi akademisnya.
BACA JUGA:
- Keren, Inovasi Unika Atma Jaya di Masa Pandemi Sabet Penghargaan dari LLDIKTI Wilayah 3
- Unik, Robot Wakili 532 Peserta Wisuda Daring Universitas Kristen Satya Wacana
- MAN 2 Kulon Progo Masuk Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik
- Valentino ‘Jebret’ Simanjuntak Berdebat dengan Istri Sebelum Daftarkan Anak ke Sekolah PENABUR
- Digitalisasi SDM Usia Muda, Pemkab Dairi Lirik Kampus SGU dan Telin
- Stafsus Milenial Ini Gencar Bertemu dengan Pelaku Dunia Usaha Kuliner, Ada Apa Ya?
“Setiap bantuan finansial yang saya terima, khususnya di tahun pertama, sangat banyak artinya,” kata Dariya, dalam artikel profil tentang dirinya di situs resmi University of Toronto, utoronto.ca.
Awalnya ia menghadapi kesulitan dengan sistem pendidikan di negara barunya. Namun ia tak menyerah. Ia berinisiatif bergabung mengikuti program yang ditawarkan oleh Centre for Student Engagement (CSE) dalam dua tahun pertama. Di sini, menurut Dariya, ia memiliki kesempatan berinteraksi dengan kakak-kakak kelas, menciptakan pertemanan dan mendapat bantuan dari para staf profesional.
“Itu sangat membantu,” kata dia mengenang University of Toronto Mississauga yang sudah seperti rumah kedua baginya. “Saya banyak kenangan di sana,” tutur dia.
Menjelang tahun keduanya, Dariya mulai bekerja di Kantor CSE. Itu merupakan pekerjaan pertamanya di dalam kampus.
Selanjutnya, dia pun menjadi asisten pengajar. Lalu menjadi tutor akademik untuk program bimbingan musim panas mahasiswa Fakultas Kedokteran.
Kesibukan itu ternyata belum seberapa, masih ditambah lagi dengan keterlibatannya pada kegiatan lain. Dia bergabung sebagai relawan di Health and Counselling Center, Accessinility Services di universitas tersebut. Ia juga menjadi relawan di Robert Gullespie Academic Skill Center. Tak ketinggalan, ia pun turut menjadi salah satu aktivis di serikat mahasiswa.
Di luar kampus ia aktif sebagai mentor untuk Indigenous Spirit Journey Program yang diselenggarakan oleh Riverwood Conservancy. Dia juga mentor di Centre for Student Engagement Mississauga.
Yang tak kalah penting untuk dicatat, dia pun aktif membimbing siswa dari program sekolah menengah alternatif dalam upaya untuk menunjukkan kepada mereka bahwa universitas adalah pilihan yang layak. Dia menyebut aktivitasnya pada yang terkahir ini sebagai “salah satu pengalaman terbaik.”
Karena aktivitasnya yang luar biasa, ia dianugerahi University of Toronto Student Leadership Award. Ini diberikan atas kepemimpinan, pelayanan dan komitmennya kepada universitas.
Aktivisme di Kampus Mendukung Prestasi Akademis
Di tengah pergulatan membagi waktu antara bekerja, menjadi relawan dan belajar, ternyata Dariya mampu mencatatkan prestasi akademik istimewa. Indeks Prestasi Kumulatifnya mencapai 4.
Dariya mengatakan sesungguhnya dia tidak pernah mengincar standar setinggi ini. Namun, begitu dia mendapatkan nilai bagus, dia bertekad untuk mempertahankannya.
Ketimbang memandang aktivitasnya yang sibuk sebagai beban, Dariya justru melihatnya sebagai cara membantunya untuk mencapai prestasi. Jadwal yang sibuk itu, menurutnya, membantu keberhasilan akademisnya.
Dengan menyediakan diri terlibat langsung dalam berbagai aktivitas, dia mengatakan menemukan sistem pendukung baginya, berteman, bergembira, dan menciptakan cara untuk menghilangkan stres seraya menyelami berbagai pengalaman di universitas. Itu juga membantunya menjadwalkan waktunya lebih efisien.
“Memiliki keseimbangan yang tepat sangat produktif,” kata Dariya.
Minat dan kegiatannya yang beragam itu pada perjalanannya berperan dalam studi multidisiplin yang dipilihnya.
Dulu tatkala hari pertama menginjakkan kaki di kampus, dia menempa di dalam benaknya cita-cita untuk menjadi dokter. Tahun ini, langkah menuju cita-cita itu terbuka, ketika ia diterima di Fakultas Kedokteran University of Toronto.
Jalannya menuju tahap ini memang agak berliku. Awalnya, ia mengambil jurusan Ilmu Biologi. Namun ia menggeser arah perjalanan studinya setelah mendapat pelajaran Kalkulus di tahun pertama. Dia tertarik sekali dengan pelajaran tersebut. Karena itu ia berpindah jurusan ke Matematika, kendati masih tetap memilih Biologi sebagai jurusan minor. Ini ia lakukan karena cita-cita menjadi dokter masih tetap tersimpan di benaknya.
Sementara itu, minatnya pada Geografi membuatnya mengambil kuliah Geographic Information System. Dia segera menyadari bahwa ilmu ini pun kelak akan berguna baginya tatkala menempuh pendidikan di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat.
“Saya melakukan ini, awalnya karena suka. Namun ketika saya sudah menekuninya, saya benar-benar masuk ke dalamnya.”
Dariya kemudian menamatkan kuliah S1-nya di bidang Matematika sebagai jurusan utama dan Biologi serta Geografi sebagai jurusan minor.
Selanjutnya, kini ia diterima di Fakultas Kedokteran, di universitas yang sama.
Dariya mengatakan pendekatan multidisiplin telah memungkinkannya untuk melihat kesehatan melalui lensa yang berbeda. “Itu tampak seperti campuran, tapi itu saling mengikat,” kata dia.
Kelak, ia berencana menggunakan gabungan pengetahuan itu untuk bekerja dengan tim interdisipliner dari pakar kesehatan masyarakat yang berdedikasi untuk mengurangi ketidaksetaraan dalam akses ke perawatan kesehatan.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply