Gugurnya Saureen Saragih dan Tujuan Belajar Sejarah

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com — Salah satu novel Sidney Sheldon, Sands of Time (1988),  mengambil setting perjuangan rakyat Spanyol merebut kemerdekaannya. Ada sejumlah anak muda yang jadi tokoh utamanya. Salah satunya, anak petani yang terseret ke kancah perang gerilya karena alasan yang awalnya bersifat personal: tanah pertanian milik keluarganya diambil paksa dan mereka terusir dari tanahnya. Sejumlah sanak-saudaranya pun jadi korban dalam perjuangan merebut kembali tanah pertanian tersebut.

Latar belakang ini kemudian mendorong  anak muda yang menjadi tokoh novel  angkat senjata. Ia ingin memenangkan pertempuran. Demi apa? Bukan demi sesuatu yang muluk-muluk, heroik atau akbar. Cita-citanya sederhana: kelak kalau kemerdekaan  tercapai, ia ingin dapat tenang kembali menjadi petani. Meneruskan apa yang sudah dirintis oleh keluarga. Tenteram di tanah dan kampung halaman sendiri.

Kisah yang mirip dengan karya  Sidney Sheldon, ternyata dapat kita temukan di Indonesia dalam sebuah karya penelitian sejarah oleh Payung Bangun. Payung Bangun yang adalah gurubesar Antropologi Unimed, Sumut itu, menggali kisahnya dari Sumatera Utara. Cerita fiksi yang disusun Sidney Sheldon, seperti menjadi kenyataan bila kita membaca buku Kisah Dari Pedalaman, Epos Perjuangan dari Sumatera Utara, (terbit tahun 1979) karya Payung Bangun tersebut. Buku ini bercerita tentang perang melawan Belanda mempertahankan kemerdekaan, beberapa saat setelah diproklamirkan (1945-1950).

BACA JUGA:

Seperti Sheldon dalam novelnya, dalam buku ini Payung Bangun mengangkat salah satu tokoh kisah (di antara sejumlah tokoh)  seorang anak petani yang bercita-cita jadi petani, namun, oleh perang kemerdekaan, ia terseret menjadi pejuang. Dia menjalankan panggilan itu dengan gagah berani.

Anak muda itu bernama Saureen Saragih. Ia berasal dari Simalungun. Ia sudah lulus dari  sekolah pertanian menengah Talapeta ketika perang kemerdekaan mengharuskannya terjun ke medan perang. Ia menyambut panggilan perjuangan itu dengan sukarela.

Dikisahkan, Saureen sebetulnya tak ingin menyandang bedil. Ia bukan tentara by design. Ia tidak pernah dididik menjadi tentara. Namun, panggilan untuk  bertempur tak dapat ia tolak karena baginya itu merupakan, “suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk memenuhi suatu tugas yang mulia.”

Bila tugas ini telah selesai, Saureen ingin kembali ke cita-citanya sedari awal. Yakni menjadi petani. “Ia ingin menjadi seorang petani yang  akan memelihara berbagai ternak, seperti ayam, itik, kambing, lembu dan sebagainya. Pokoknya segala pengalaman sekolahnya akan dituangkannya dalam praktik,” tulis Payung Bangun.

Ketika menempuh pendidikan di sekolah pertanian, Saureen adalah murid yang sungguh-sungguh. Ia tekun mempelajari seluk-beluk pertanian. Panggilan jiwanya memang di bidang itu. Keseriusan yang sama ternyata ia tampakkan dalam pertempuran. Dalam tempo singkat, ia dipercaya menjadi salah seorang komandan pasukan. Bersama dengan Letnan A. Salim Rangkuty, ia bertugas di Batalyon Pertempuran Res II di bawah pimpinan Kapten Mardjunet (ketika buku itu ditulis, Kapten Mardjunet menyandang pangkat Let Kol CPM).

Saureen dikenal sebagai seorang prajurit yang bertanggung jawab. Ia digambarkan sebagai  orang bertipe serius. Bicara tak banyak tetapi semua yang diucapkannya merupakan buah renungan yang telah dipikirkan secara matang. Ia bersedia berkorban demi keselamatan teman-temannya. Tidak hanya pada satu pertempuran dia menunjukkannya, tapi pada banyak peristiwa.

Salah satunya adalah pada pertempuran di Kampung Baru. Ketika itu salah seorang pemimpin batalion mereka tewas. Komandan itu bernama Sakti Lubis.

Pertempuran demikian hebatnya. Saling adu tembak terjadi. Sakti Lubis sebagai komandan batalion ketika itu memimpin anak buahnya dari depan, menerapkan strategi perang klasik. Sakti Lubis dan Kapten Mardjunet mengerahkan dua batalion dalam serangan itu dan mencoba merangsek ke jantung pertahanan musuh.

Pada saat itu lah Sakti Lubis tertembak. Tubuhnya rubuh persis di depan pertahanan musuh. Tembak menembak masih terus terjadi dan jasad Sakti Lubis belum dapat diselamatkan sampai lama.

Baru keesokan paginya, setelah pertempuran mereda, Kapten Mardjunet berbicara kepada anak buahnya. Ia menanyakan siapa di antara mereka yang secara sukarela bersedia diterjunkan untuk mengambil jenazah Sakti Lubis.

Misi itu berat dan berbahaya. Semua prajurit tahu akan risikonya. Pada saat itulah Saureen Saragih tampil. Ia beserta beberapa orang prajurit  lainnya bersedia melaksanakan tugas berbahaya itu. Dengan bersusah payah,  dilengkapi dengan beberapa karabijn dan tandu, dapatlah mereka mengambil jenazah Sakti Lubis.

 Dalam novel Sheldon, anak petani yang berjuang demi kemerdekaan bangsanya itu akhirnya hidup bahagia. Cita-citanya dan cita-cita bangsanya kesampaian.  Tidak demikian halnya perjalanan hidup Saureen. Keindahan novel memang tak selalu terjadi dalam sejarah.

Dikisahkan, dalam sebuah pertempuran yang sengit di Binjai Amplas (Medan Selatan) pada 28 Juli 1947, Belanda mengepung para pejuang  dari arah  Tanjung Morawa. Sementara itu pasukan Belanda lainnya telah pula melakukan pendaratan di Pantai Cermin, sehingga seluruh kekuatan pejuang Indonesia yang di Timur dan Selatan terkepung.

Dalam keadaan demikian, para pejuang berusaha menyelamatkan diri keluar dari kepungan musuh, terutama mereka yang masih memiliki peluang untuk itu. Namun  pasukan yang berada dalam di garis depan dalam posisi sudah berhadap-hadapan dengan musuh, tak mungkin lagi mundur. Mereka harus menghadapinya.

Di antara yang berada di garis depan itu adalah  Letnan Saureen dengan pembantunya Letnan Tugimin, beserta anggota pasukannya. “Kubu-kubu pertahanan mereka dan sarang-sarang senapan mesin semua lurus menjurus ke arah Medan,” tulis Payung Bangun dalam bukunya.

Dan malang tak dapat ditolak. Dalam perang yang sengit, di tengah kepungan mendadak tentara Belanda, Letnan Saureen  tertembak dan gugur bersama Letnan Tugimin. Lebih tragis lagi, jenazahnya tak sempat diselamatkan. Bila dulu Saureen bersama timnya dapat menyelamatkan jenazah Sakti Lubis untuk diserahkan kepada keluarga, kali ini hal seperti itu tak terjadi. Jenazah Saureen tak diketahui rimbanya sampai sekarang.

***

Beberapa hari belakangan sempat menjadi pembicaraan hangat tentang isu akan dihapuskannya Pelajaran Sejarah dari kurikulum Sekolah Dasar. Dengan cepat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membantahnya, setelah suara ramai-ramai para guru dan kalangan pendidik mengeritik dan menolak wacana tersebut.

Lalu ‘paduan suara’ terdengar dari berbagai pihak mengumandangkan pentingnya pelajaran sejarah. Para guru angkat bicara. Antara lain dengan mengucapkan ulang kalimat klise, “Bangsa yang besar tidak boleh melupakan sejarahnya.” Bahwa “pelajaran sejarah sangat penting sebagai penguat karakter siswa dan identitas kebangsaan.” Bahwa “mata pelajaran sejarah relevan untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan, agar siswa bisa memahami semangat nasionalisme serta keteladanan pahlawan.”

Semua yang telah terucapkan oleh para guru itu tentu saja sangat penting. Namun, ada satu hal yang barangkali jarang sekali kita ungkapkan sebagai fungsi sejarah. Dan itulah  yang dikatakan oleh Payung Bangun ketika menulis sosok almarhum Saureen. Yaitu “untuk meletakkan kembali seseorang pada tempat yang selayaknya.”

“Temanku, Saureen,” tulis Payung Bangun, “Jasadmu hilang tak dapat diketemukan, tetapi sejarah perjuangan Bangsa Indonesia menuntut agar namamu ditempatkan pada tempat yang selayaknya…..”

Inilah fungsi sejarah yang acap kali terabaikan. Seringkali sejarah dianggap berfungsi statis sebagai piranti untuk mengabadikan dan glorifikasi terhadap masa lalu –meskipun itu ada kalanya penting. Tetapi sesungguhnya yang jauh lebih penting ialah sejarah juga harus berfungsi mempertanyakan masa lalu itu,  mengajak siswa bernalar kritis untuk tak mengabaikan yang terpinggirkan, sekaligus menghayati sejarah sebagai ranah bagi solidaritas kemanusiaan.

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lainEsensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*