Rektor Paramadina Terang-terangan Sebut 7 Faktor Penyebab Kegagalan Kebijakan Pengendalian Covid-19 di Indonesia

Rektor Universitas Paramadina Periode 2021-2025, Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D
Rektor Universitas Paramadina Periode 2021-2025, Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D (KalderaNews/Dok. Paramadina)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini menyarankan perlunya telaah secara mendalam apa yang menyebabkan Indonesia jadi epicentrum baru pandemi Covid-19 di dunia.

Saran ini disampaikannya pada webinar bertajuk “Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Universitas Paramadina pada Selasa, 27 Juli 2021.

Tak hanya ditelaah, fakta bahwa Indonesia jadi epicentrum baru pandemi Covid-19 di dunia juga wajib diambil pelajarannya. Selanjutnya, tokoh Partai Amanat Nasional yang pernah menjabat sebagai anggota DPR RI untuk masa bakti 2004-2009 ini pun mengurai 7 faktor penyebab kegagalan kebijakan pengendalian Covid-19 di Indonesia.

BACA JUGA:

Berikut ini 7 faktor penyebab kegagalan kebijakan pengendalian Covid-19 di Indonesia:

1). Pemerintah memulai dengan respons lengah, eskapis, denials

Komunikasi pemerintah kepada masyarakat ihwal kebijakan penanganan pandemi buruk. Infomasi tidak jelas dan membuat kebingungan masyarakat. Ketika di awal pandemi, ada puluhan komunikasi pejabat publik membingungkan, seperti Covid-19 tidak berkembang di tropis, Covid-19 pakai nasi kucing, susu kuda liar dll. Indonesia kehilangan golden time yang seharusnya jika ditangani dengan tepat, akan meminimalisir dampak buruk pada hari ini.

2). Aspek organisasi: penanganan pandemi Covid 19 tidak jelas koordinasinya

Terlalu gemuk dan dikerjakan secara partime sebagai kerja sambilan dari kerja utama di kementerian. Hal itu semua adalah cermin dari produk kepemimpinan yang lemah dan tidak kredibel. Tidak berani lockdown, tidak efektif. Padahal kepemipinan di masa krisis amat berbeda ketika di masa normal. Kepemimpinan di Indonesia jelas sedang diuji.

3). Kepemimpinan di semua level bermasalah

Komando tidak satu arah tapi banyak arah dan membingungkan. Pimpinan lembaga untuk pengendalikan covid berganti-ganti. Bahkan sejak awal juga bahkan ada friksi pusat dan daerah

4). Kebijakan ekonomi lebih menjadi pilihan utama di masa pandemi

Porsi anggaran kesehatan di APBN justru sedikiti dan terabaikan. Prioritas menjadi terbalik balik dan salah kaprah.

5). Komitmen kepada mitra, tenaga kesehatan dan rumah sakit sebagai mitra dan stakeholder, amat lemah

Nakes dan rumah sakit banyak yang belum dibayar. Nakes banyak terpapar. Obat-obatan hilang dari pasaran.

6). Data resmi terlalu berbeda, sangat terlalu rendah, tidak mencerminkan data sesungguhnya di lapangan.

Tetapi masalahnya pemerintah hanya mengambil data resmi yang justru tidak sesuai data lapangan. Seharusnya, data resmi sebagai proksi saja. Hasil riset Djayadi Hanan, Ph.D dosen Universitas Paramadina menyebutkan 10 % keluarga sampel di Indonesia telah terpapar Covid-19. Hal itu berarti yang terkena bisa 10-15 juta orang. Begitu pula laporan daerah kurang cepat, kurang komprehensif.

7) Anggaran untuk PEN ekonomi mayoritas non kesehatan dan jauh dari memadai untuk kesehatan

Dana PEN Rp 690 triliun kebanyakan untuk membenahi ekonomi. Karenanya tidak heran jika muncul masalah nakes tidak dibayar, oskigen bermasalah, rumah sakit belum dilunasi. Dan lain-lain. Terjadi penggelembaungan dana dengan utang yang sebagiannya merupakan produk perburuan rente.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan share pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*