Jangan Remehkan Kata, Padanya Ada Tenaga dan Cinta: Pelajaran dari Stanford

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Sharing for Empowerment

Oleh Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com — “Manusia tidak hidup dari roti saja.” Man shall not live on bread alone. Mungkin kamu sudah akrab dengan kalimat ini. Ia kerap dipakai untuk menekankan hidup bukan hanya tentang hal-hal yang bersifat material. Ia juga tentang yang nonmaterial.

Di antara yang nonmaterial itu adalah kata-kata. Manusia tidak dapat hidup tanpa kata-kata. Setiap hari kita mendengar, berbicara, membaca dan merenung dengan dan oleh kata-kata.

Guru, dosen, mengajar dengan kata-kata. Ibu, ayah, memberi nasihat dengan kata-kata. Kamu menjelaskan dan mempresentasikan gagasan menggunakan kata-kata.

Boleh percaya boleh tidak, kata-kata itu punya tenaga.  Ia membawa energi. Kata-kata yang ditata dengan baik, ia akan membawa tenaga yang baik dan membangun. Namun, kata-kata dapat melemahkan bila ia tidak diolah dengan benar.

Bisa jadi kamu mengira urusan tata dan olah kata semacam ini penting saat berkhotbah atau mengajar. Betul, tetapi tidak hanya itu. Olah dan tata kata juga penting dalam mengkomunikasikan kepedulian, cinta, pertolongan kepada yang lemah. Dalam hal ini kaum yang termarginalkan.

Kamu akan lebih yakin tentang hal ini bila membaca sebuah paper hasil penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan Proceedings of the National Academy of Sciences. Paper itu ditulis oleh Catherine Thomas, seorang mahasiswa Ph.D di bidang Psikologi di Stanford’s School of Humanities and Sciences.

BACA JUGA:

Catherine Thomas bersama Nicholas Otis, seorang ekonom dari University of California, Berkeley, memimpin sebuah tim dari Stanford melakukan penelitian tersebut. Anggota timnya yang lain adalah Hazel Markus, Profesor Davis-Brack di bidang Ilmu Perilaku Stanford Univesity, Gregory Walton, associate professor bidang Psikologi Stanford University, serta Justin Abraham dari University of California-San Diego.

Paper tersebut membahas  dampak dari pilihan kata dalam wacana yang menyertai pemberian bantuan sosial oleh lembaga-lembaga donor internasional.  Bagaimana sebaiknya wacana yang dibangun ketika menjalankan program bantuan sosial di negara-negara yang menjadi sasaran.Apakah ada signifikansi wacana itu atau biasa-biasa saja.

Ternyata hasilnya menarik.

Penelitian tim Stanford ini menunjukkan bahwa program bantuan internasional akan jauh lebih efektif bila disampaikan dalam wacana yang memberikan penghargaan akan martabat  penerima bantuan.  Menurut riset itu, wacana yang menekankan pemberdayaan dan disampaikan dengan budaya yang relevan, akan menjamin keefektifan bantuan.

Sebaliknya, program bantuan yang dikemas dalam wacana yang menekankan ketidakberdayaan si penerima, dapat berdampak yang tidak diharapkan. Program bantuan yang menyoroti keparahan kemiskinan yang dialami penerima, kerentanan keadaan mereka, justru dapat menghambat efektifitas bantuan. Alih-alih merasa terbantu, si penerima malahan merasa tertekan dan dilemahkan.

Catherine Thomas (Stanford)

Riset ini penting karena tampaknya penelitian yang berfokus pada narasi dalam bantuan sosial tidak terlalu banyak. Padahal hal itu mendesak, khususnya ketika pandemi COVID-19 melanda dewasa ini. Bantuan dibutuhkan dalam skala besar bagi mereka yang menjadi korban pandemi.

Ketidakpekaan terhadap pembentukan narasi ini dengan mudah ditemukan di lapangan. Adakalanya lembaga-lembaga swadaya masyarakat menganggap perlu untuk menonjolkan ketidakberdayaan si penerima bantuan. Seringkali pilihan kata demikian diambil dengan maksud baik, yakni untuk meyakinkan para donor akan pentingnya program tersebut.  Maka banyak organisasi  nirlaba menggambarkan program mereka sebagai program untuk “orang miskin” atau “orang yang membutuhkan,” atau “orang yang rentan.”

Namun, menurut hasil riset tim Stanford, wacana yang merendahkan seperti itu dapat merusak tujuan pemberian bantuan.  Para penerima menjadi terstigma sebagai orang yang lemah. Padahal yang diperlukan adalah diksi yang menghargai martabat  si penerima, sehingga akan mengurangi rasa malu dan meningkatkan kepercayaan diri ketika menerima bantuan.

“Ketika orang memberikan bantuan, mereka sering menganggapnya hanya sebagai cara untuk mengurangi ketidaksetaraan ekonomi,” kata Catherine Thomas, dikutip dari laman resmi Stanford University.

“Apa yang tidak sering mereka sadari adalah bahwa proses pemberian bantuan dapat berakhir karena secara tidak sengaja menonjolkan atau bahkan memperparah kesenjangan status dan yang memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan pada kesejahteraan dan perilaku penerima,” lanjut dia.

Catherine Thomas dan tim Stanford sampai pada kesimpulan ini berawal dari penelitian mereka di Kenya. Mereka melakukan eksperimen terhadap  565 orang yang tinggal di sebuah komunitas berpenghasilan rendah di negara itu.

Secara acak, responden ditugaskan untuk mendengar satu dari tiga pesan berbeda tentang bantuan uang tunai yang setara dengan upah dua hari. Salah satu pesan berbicara tentang “mengurangi kemiskinan,” “orang miskin” dan “kebutuhan dasar.” Dua narasi lainnya berfokus pada pemberdayaan. Yang pertama  menyoroti tujuan pribadi dan kemandirian finansial dan yang lainnya menekankan pertumbuhan dan dukungan masyarakat.

Selanjutnya, peserta ditanyai pertanyaan yang memperkuat pesan yang mereka terima. Mereka juga diberi enam pilihan video untuk ditonton – dua video tentang peningkatan keterampilan bisnis yang bermanfaat untuk menumbuhkan usaha mikro dalam ekonomi lokal, dan empat video yang merupakan bentuk hiburan.

Apa hasilnya?

Orang-orang yang mendengar pesan pemberdayaan masyarakat secara signifikan lebih cenderung memilih video keterampilan bisnis. Mereka juga mengatakan tidak merasa mengalami stigma dalam menerima bantuan. Sedangkan mereka  yang mendengar pesan pemberdayaan pribadi, memberi reaksi netral, tidak merasakan ada efek signifikan pada perilaku mereka atau pada perasaanan terstigma.

Yang menarik adalah orang yang mendengarkan pesan yang menekankan tentang kemiskinan mereka. Mereka cenderung memilih video hiburan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa mereka yang mendengar wacana dalam tata kata yang menghormati martabat mereka, lebih termotivasi untuk memilih langkah-langkah produktif untuk mengubah nasib (menonton video ketrampilan bisnis) ketimbang mereka yang diberi wacana tentang kelemahan (kemiskinan) mereka (mereka memilih menonton video hiburan). Mereka yang menerima pesan positif tentang keberadaan mereka, termotivasi untuk mengambil langkah. Sedangkan mereka yang menerima stigma negatif tentang keterbatasan mereka, justru menghindar.

Apa yang dapat kita pelajari dari hal ini? Setidaknya dua hal.

Pertama, kata-kata itu penting. Kata-kata itu memiliki tenaga dan energi. Karena itu ketika ia hendak digunakan, baik dalam menjelaskan diri kita, menjelaskan orang lain dan menjelaskan sesuatu yang akan kita lakukan, sebaiknyaa ia ditata dengan baik, dengan diksi yang memberi tenaga positif.

Kedua, kata-kata semakin penting dalam konteks komunikasi di antara dua aktor yang tidak seimbang. Ketika konteksnya adalah adanya posisi yang kuat dan yang lemah, pemimpin dan yang dipimpin, yang mengajar dan diajar, diksi dalam wacana yang dikembangkan harus mempertimbangkan pesan-pesan penghormatan akan martabat sesama dengan spirit pemberdayaan.

Nah, ketika kamu menyusun makalah untuk dipresentasikan di kampus, tatkala meminta adik mengerjakan pe-ernya, sudah tahu kan, diksi seperti apa yang akan kamu rangkai? Selamat berkata-kata.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*